Oleh: Soen’an Hadi Poernomo
Dosen Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta
Mengupas dilema aplikasi pelet berbahan kotoran ternak sapi untuk pakan ikan. Alasan ekonomis bukan satu-satunya pertimbangan untuk mengaplikasikan temuan teknologi.
Mengupas dilema aplikasi pelet berbahan kotoran ternak sapi untuk pakan ikan. Alasan ekonomis bukan satu-satunya pertimbangan untuk mengaplikasikan temuan teknologi.
Beberapa waktu lalu Penulis tertarik bercampur kaget saat membaca surat kabar nasional yang terkenal dalam rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rubrik tersebut ada artikel berjudul “Pelet Ikan dari Kotoran Sapi”. Dalam tulisan tersebut disampaikan inovasi teknologi pakan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan agribisnis di Jawa Tengah, mengenai pakan yang biasanya berbahan baku tepung jagung dan tepung ikan, diganti dengan 70 persen kotoran sapi, 20 persen bekatul, dan 10 persen tetes tebu atau air kelapa.
Memang gagasan yang sudah dioperasionalkan tersebut memberikan berbagai manfaat atau memiliki beberapa kelebihan. Dan gagasan ini bisa menarik, karena saat ini berbagai pihak yang terkait dengan akuakultur—pemerintah, peneliti, akademisi, pengusaha, maupun pembudidaya ikan, sedang getol mencari solusi untuk memperoleh pakan alternatif yang harganya lebih murah, agar dapat mendatangkan untung bagi para pelaku usaha, maupun berdayasaing di dunia internasional.
Keberhasilan menekan harga pakan, yang merupakan komponen biaya produksi terbesar, bisa menjadi faktor strategis pencapaian kebijakan nasional peningkatan produksi budidaya ikan sebesar 353 persen pada 2014. Akan tetapi berbarengan manfaat, dengan gamblang menyertai pula kemudharatan, atau keburukan yang bisa mendatangkan malapetaka.
Dalam artikel tersebut disampaikan bahwa pelet ikan di pasaran yang biasanya Rp 8.000 sampai Rp 10.000 per kg, menjadi terlalu mahal bila dibandingkan dengan pelet ikan dari kotoran ternak yang bisa dipasarkan dengan harga Rp 3.000 atau Rp 4.000 per kg. Dalam kondisi kering, kadar proteinnya adalah 10,11 persen. Dijelaskan pula bahwa pada uji coba budidaya lele yang ia lakukan, dengan pelet biasa, masa panen memerlukan 3sampai 4bulan, sedangkan dengan pelet kotoran sapi , ikan bisa dipanen lebih cepat, yakni sekitar 2bulan.
Untuk menghilangkan bau tidak sedap, ditambahkan dalam proses produksinya sebuah cairan organik, atau mungkin cairan probiotik. Sayangnnyadalam artikeltersebut tidak dipertimbangkan ekses negatif yang bisa timbul, dan bahkan bisa fatal terhadap kelangsungan kegiatan budidaya perikanan. Yang disampaikan hanyalah faktor ekonomi mikro, tanpa melihat dampak ekonomi makro, maupun ekses psycho-sosialnya. Penggunaan kotoran ternak untuk bahan pakan ikan ini bisa memberikan dampak negatif bagi pasar ikan domestik maupun luar negeri.
Ekses Pasar Domestik
Pemerintah senantiasa berupaya keras untuk meningkatkan konsumsi ikan perkapita. Disamping bermaksud agar langsung dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, juga sekaligus mendukung ketahanan pangan (food security). Apalagi ikan dikenal sebagai sumber protein yang positif.
Terkait dengan pencitraan ikan, penggunaan kotoran ternak sebagai pakan ikan, bisa merupakan “pembenaran” bahwa ikan merupakan hidangan yang menjijikkan, karena suka memakan kotoran. Hal inilah yang saat ini sedang banyak diupayakan untuk dihapus dari opini masyarakat.
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Desember 2011
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Desember 2011
terus bagaimana dengan cara terbaik untuk pemberi makan lele (pelet)
yang dianjurkan ,sebab keduanya mengandung unsur plus dan minusnya.
Dmn saya bisa dapatkan pakan(pelet) itu ?